JUARA 1 MENULIS OPINI HARI SUMPAH PEMUDA, DANHARI PAHLAWAN. LANGGAMMUTIARA RADIO.

PAHLAWAN ITU ADA DI RUMAHKU.

PENULIS: SALJU.

 

Kalau ditanya, “Siapa pahlawan nasional kebanggaanku?” Aku akan menjawab tidak tahu. Bukan lantaran tak satupun dari mereka yang kukenal, apalagi kuidolakan. Akan tetapi, mendengar kisah-kisah mereka itu sudah membuatku bangga. Tak penting siapa namanya, yang penting bekas keringatnya, bekas darahnya, bekas perjuangannya. Terlepas dari itu, ternyata pahlawan itu ada di rumahku. Benar, ia tak membawa bambu runcing untuk membela bangsa seperti pahlawan terdahulu. Sebab, saat ini bukan lagi masa penjajahan dimana kemerdekaan mesti ditegakkan. Namun, pahlawan masa kini ialah mereka yang mampu membentuk pribadi mulia untuk tunas-tunas bangsa.

 

Dialah papaku. Bagiku dialah pahlawan. Seseorang yang tidak terlalu banyak berbicara, lumayan pelit ilmunya. Kalau itu tak perlu kutanyakan lagi.  Sebab, sifat itu juga ada didiriku. Bukan tak mau berbagi, masalahnya papa tidak bisa mengajar hal yang sama berulang kali sementara yang diajar tak paham-paham juga. Bawaannya jadi emosi. Sama halnya diriku. Oleh sebab itu, sejak kecil aku sudah digembleng supaya cepat menghafal sesuatu. Bahkan waktuku kecil aku dibiasakan makan nasi yang baru matang, ambil bagian yang paling atas. Katanya itu untuk menguatkan daya ingat. Sebab, ia juga sering diberi itu oleh nenekku, ibu dari papaku.

 

Papaku anak kelima dari enam bersaudara. Diantaranya, hanya papa yang bisa tembus S2 di negeri sakura pada 2009. Dari situ, aku mulai bercita-cita bisa seperta dia kelak. Sekolah di luar negeri dengan beasiswa. Wow!

 

Dulunya sebelum kuliah, papa bekerja sebagai tukang ojek pernah juga menjadi tukang parkir. Namun setelah mendapat beasiswa, ia bisamelanjutkan pendidikan D3, S1, S2 di Universitas Brawijaya dan di Jepang. Eits, sayangnya aku sampai ssekarang belum tahu apa nama kampusnya. Mengapa? Ceritanya begini:

 

Jadi dulu aku yang paling menentang kepergian papa kuliah di luar negeri. Lantaran saat itu aku sakit keras selama lima bulan dan dokter sudah angkat tangan menanganiku. Namun, untuk biaya pengobatan alternatif yang cukup besar, papa akhirnya pergi ke S2 diam-diam. Dia bilang padaku kalau dia dipindah kerja ke pulau seberang selama dua tahun. Bukan bermaksud membohongi, karena suatu keterpaksaan dan kondisi yang tidak memungkinkan itu harus dilakukan. Belakangan ini baru kutahu, semua uang yang ia dapatkan selama kuliah di luar negeri dihabiskan untuk kesembuhanku semata. Oh, papaku memang pahlawan.

 

Darinya aku belajar banyak hal. Tanpa bersuara, tanpa sepatah kata, walau sering marah, aku belajar kedisiplinan, bukti kerja keras, hamba yang selalu taat pada Sang pencipta, tegas menyikapi segala hal, dan tidak pernah menyerah dengan keadaan. Semua kupelajari darinya. Thank you, Papa, I love you.

 

Komentar