PENGALAMAN JADI PENYIAR

Pengalaman Menjadi Penyiar
“Non Audy, ada Non Jeyhan di luar!” seru Bi Centong, asisten rumah tangga yang sudah tiga tahun bekerja di rumah Audya. Ketika Bi Centong pertama kali datang melamar pekerjaan, Audya sempat tidak percaya bahwa di dunia ini ada makhluk hidup berjenis kelamin perempuan yang namanya adalah Centong. Ya, wajar saja, setahu Audya, centong adalah cedok bertangkai seperti gayung, gunanya untuk mengisi air. Atau ada juga centong nasi,yaitu sendok besar yang digunakan untuk memindahkan nasi ke piring. Akan tetapi, Centong sebagai nama orang …! Ohh, Audya benar-benar tak habis pikir. Mau tidak percaya, faktanya memang begitu. Di KTP nama yang tertera memang Centong. Lengkapnya, Centong Sayaniyah. “Egghhh, si Non! Nama bibi the ada sejarahnya. Lihat nih mata bibi! Kayak mata orang Cina, kan? Makanya bibi dikasih nama Centong sama orang tua bibi. Karena Centong itu singkatan dari Cina kayak gentong. Ya gitu deh, bodynya bibi kan bagai biola tak berdawai.” Begitulah kata Bi Centong waktu itu, juga setiap kali ada yang menanyakan perihal nama Centong itu. Audya tidak menyahuti seruan Bi centong tadi. Aktivitas yang tengah ia lakukan tidak memungkinkannya untuk merespon dengan kata-kata. “Audyyyyyyyy …!” suara Jeyhan melengking di telinga Audya, tangannya pun memeluk gadis itu dari belakang. Audya yang tengah mengoles masker di wajah refleks menghentikan jemari. Bukan untuk berbalik badan dan balas memeluk Jeyhan, melainkan untuk berpegangan pada teppian meja agar kedua tubuh ramping mereka tidak tumbang. “Lo aha-ahaan hih main mahuk hamah ohang gak hake halam? Kayak khebho aha lu. Keluhal hana! Hunggu ghue sehulu menhit lagi!?” semprot Audya. Jeyhan buru-buru meninggalkan kamar Audya. Bukan lantaran takut terhadap bentakan tadi, melainkan sebagai penjual skin-care ia sadar akan bahaya yang baru saja ia lakukan. Bisa jadi dia yang disalahkan apabila wajah Audya kenapa-napa akibat aksinya tadi. Setengah jam kemudian, Audya akhirnya keluar kamar. Ia mengenakan Baju kaos biru bergambar Teddy Bear beserta jeans hitam, sedangkan rambutnya diikat ekor kuda. “Duuuuuhhh … akhirnya Tuan Putri keluar juga!” Jeyhan mengembuskan napas lega. “Kirain sudah dikutuk sama Nenek sihir dan tidur seratus tahun sampai datangnya Pangeran yang membangunkan. Katanya sepuluh menit, tahunya setengah jam gue hampir pulang tahu nggak? Gue kira lu marah sama gue.” Audya tersenyum. “Bisa nggak sih lo lupain dongeng masa kecil itu? Sehariiiiii … ajaaaaa …? Lo udah gede. Bahasnya tu novel kek, romans kek, Drakor!” Jeyhan nyengir sambil geleng-geleng, sementara Audya masih terus mencerocos. “Tumben Lo ke sini gak bilang-bilang dulu? Lo berantem lagi ya sama Nyokap Lo gara-gara masalah siapa yang paling cantik?” “Hahahahaha …!” Jeyhan tertawa lepas. “Nggak. Itu lagu lama! Gue punya masalah baru sekarang.” Katanya dramatis. Suaranya bak pembawa acara entertainment di televisi. Setidaknya, hal tersebut berhasil menarik perhatian Audya dan membuat gadis itu memasang telinga kuat-kuat agar tak lepas selama Jeyhan bercerita. “Gue pengen ada kegiatan lain. Ya, setidaknya bisa bermanfaat buat orang lain. Sekalian gue juga mau nambah pengalaman.” “Pengalaman apa lagi sih?” Audya menyela. “Nggak capek apa? Di samping kuliah, lo juga jualan skin-care, tambah lagi jualan bronies. Belum lagi harus ngurusin tugas plus foto-foto norak Lo itu. Gue aja yang Cuma kuliah doang udah mumet, gak ada waktu istirahat.” “Ya iyalah, secara Lo kuliahnya di tiga universitas sekaligus!” Jeyhan balas menyela sambil tertawa kecil. “Eh, Lu setuju nggak kalau gue jadi penyiar?” lanjutnya kemudian. Suaranya dipelankan, takut pembicaraannya dikuping Bi Centong lalu ditertawakan. “Lo mau nyiar di mana?” “Ya, di mana aja. Di Radio Oisiar kek, qNR, pokoknya yang penting gue bisa ngomong dan omongan gue ada yang dengerin.” Tiba-tiba, Audya menepuk jidatnya, seakan baru tersadar. “Emmm, gue punya kenalan owner radio. Namanya Bang Ero. Radionya sih masih terhitung baru. Bulan kemarin ulang tahun yang pertama. Dan kemarin gue dapat kabar kalau mereka lagi mau adain audisi penyiar baru gitu.” Jelas Audya. “Ohh, orangnya gimana? Ganteng nggak? Umurnya berapa? Belum nikah, kan?” Jeyhan bertanya penuh semangat, membuat Audya melongo seketika. “Lo mau cari kerjaan di radio apa mau cari jodoh sih hah?” katanya menahan geli di hati. Jeyhan tertawa lepas lagi. “Ya sekalian toh, cari jodoh di tempat radio! Kan asyik.” Katanya sambil belagak centil. “Anaknya 13 lho!” Audya mengerling jahil. “Emangnya Lo mau apa jadi Baby sitter bagi 13 anak? Masih kecil-kecil lho, jey! Yang gede baru kelas 3 SD.” “What?” Jeyhan memekik kaget. “nggak salah, Lu? Itu gimana ceritanya anak 13, yang paling gede baru kelas 3 SD?” “Ya, kayak Lo sama saudara Lo itu! Berpasang-pasangan. Malah yang terakhir 3 sekaligus.” Jeyhan beroh tanda mengerti, sekaligus tercengang. Ternyata banyak juga anak kembar di dunia ini. “Tapi ngomong-ngomong apa namanya?” “Namanya?” Audya mengernyitkan kening. “Bang Ero! Kan tadi gue udah kasih tahu.” Jeyhan mengakak sampai terbungkuk-bungkuk memegang perut. “Bukan itu kaleeee …! Maksud gue tu nama radionya.” Ujarnya di tengah gelak. Audya pun akhirnya turut tertawa menyadari kegagalfokusannya. “Langgammutiara!” Singkat cerita, Jeyhan mengantarkan segala sesuatu yang berkaitan dengan lamarannya sebagai penyiar di Radio yang tempo hari diberitahukan Audya. Namun, Jeyhan tidak sendiri. Rangga (sahabatnya) juga turut mengirimkan lamaran sebagai penyiar. Katanya untuk menambah pengalaman. Setelah melalui beberapa tes, akhirnya Jeyhan dan Rangga diterima. Senin depan mereka sudah akan mengudara. Di jadwal, Rangga mendapat jam siaran siang, sedangkan Jeyhan mendapatkan jam siar malam. Akan tetapi, jadwal itu akan diacak. Jadi, setiap hari mereka akan siaran di acara yang berbeda-beda. Sepulang dari studio, Jeyhan langsung mencari kembarannya. Menurut kebiasaan, jam-jam seperti ini Masnya itu sudah pulang dari mengajar les Bahasa Inggris. Kalau Papi pasti belum pulang kerja. Mommy? Ahh … entahlah! Mungkin sedang di tempat Spa, manicure pedicure, atau arisan di rumah Bu RT. “Maaaasss …! Maaaasss …! Mas Jooooooooo…!” jeyhan berteriak-teriak memanggil kembarannya. Beberapa saat kemudian, ia pun mendapati sang saudara sedang asyik menonton Youtube. Segelas kopi bertengger di meja computer yang ada di hadapannya. “Mas Joooo …!” Jeyhan memanggil dengan heboh, tetapi sang kembaran tetap geming. Jeyhan yang diabaikan menjadi kesal. Disambarnya gawai Johan, sedangkan tangan yang satu lagi bergegas mengambil gelas berisi kopi dan didekatkan ke bibir. Ya, tak pelak lagi si kopi pun dihirup habis oleh Jeyhan. “Eh … eh … eh …!” Johan berseru jengkel. “Keturunan mana Lo, main ambil punya orang tanpa permisi? Idiiih, gue nggak sudi ya pelihara saudara macam lo! Malu-maluin aja. Kayak orang nggak pernah diajar.” “Eitz, sebentar lagi Lo bakalan tarik omongan lo itu kalau udah dengar berita ter-hot, ter-new, ter-crazy dari gue.” “Ngomong apa sih? Nggak usah bertele-tele gitu deh!” Johan buru-buru menukas. “Gue … udah … diterima … jadi … penyiaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrr …!” Jeyhan berseru penuh kehebohan. Suaranya melengking, membuat Johan seketika menyumbat kedua lubang telinganya dengan jari. Lalu tanpa sepatah kata pun, Johan kembali ke kamarnya, meninggalkan Jeyhan yang hanya bisa melongo tak mengerti. Tiba di kamar, Johan membanting pintu dengan keras. Ia kesal. Bukan karena berita yang dibawa Jeyhan, melainkan lantaran kelakuan kembarannya itu yang kekanak-kanakan, membuat Johan muak. “Nggak nyadar apa? Umurnya udah 21 tahun.” Johan bergumam di hati. Hari pertama mengudara tiba. Jeyhan latihan sejak pagi di depan cermin agar tidak gugup saat berbicara di mikrofon nanti. Sesekali makhluk-makhluk penghuni rumah memecah konsentrasinya. “Jey saaaaayaaaang, makan dulu! Nanti ngoceh-ngocehnya lagi. Itu suara Mommy dari ruang, makan. “Non, sakit apa ya? Kok cerminnya dari tadi diajak ngomong?” kali ini Mbok Ena yang menyela. Perempuan itu mengintip dari jendela kamar. “Ahahahaaaah …! Ngomongnya belepotan.” Johan si saudara kembar rupanya tak mau kalah. Ia pun turut merecoki jeyhan. “Awas Lho lida Lo kering gara-gara kebanyakan ngomong.” Ledeknya. “Eh, di mana-mana radio tu putar lagu. Lah ini, dia yang ngomong, dia juga yang nyanyi. Udah gitu nyanyinya fals. Huuuuuuh … kabur semua pendengar lo!” Hari pertama, ke dua, ke tiga, semua berjalan sebagaimana mestinya. Sampai pada suatu hari jadwal siaran Jeyhan bertabrakan dengan jam kuliahnya. Tugas-tugas yang dead-line-nya hari itu juga belum sempat diselesaikan. Alhasil, Jeyhan memaksa otaknya berpikir keras guna menemukan jalan keluar terbaik. Dia tidak ingin mengecewakan Bang Ero yang benar-benar ganteng, sayangnya sudaaaaahhh …, ahh lupakan! Jeyhan juga tak bisa membayangkan ekspresi Bang Aldi si Administrator kala mengerutkan dahi bak orang sembelit hanya karena mengetahui seorang penyiar baru yang belum satu minggu bekerja sudah meminta izin. Jeyhan mencoba menghubungi Rangga untuk menanyakan apakah mereka bisa bertukar jadwal. Sayangnya Rangga tidak bisa. “Sorry, Jey! Gue baru aja diputusin jendong. Butuh waktu buat nyembuhin luka. Gak fokus kalau siaran jam segitu dalam keadaan hati porak-poranda. Jadi Lo mendingan izin aja! Mereka pasti ngerti kok.” Begitu kata Rangga. Jadilah Jeyhan kembali memeras otak, demi mendapatkan jalan terbaik untuk semua. Beruntung karena itu tidak butuh waktu bertahun-tahun, sebab sekonyong-konyong sebuah ide brilian melintas di otaknya. Sore itu seorang wanita memasuki studio Langgam Mutiara. Tidak salah lagi, dia adalah Jeyhan. Saat itu ia mengenakan gamis berwarna coklat susu dipadupadankan dengan jilbab kaos yang senada. Bang ero yang melihatnya pun segera menyapa dengan ramah, tetapi yang dimaksud hanya mengangguk. “Siap siaran untuk hari ini, Jey?” yang ditanya lagi-lagi hanya menjawab dengan anggukan. Bang Ero pun mulai heran, atau sedikit khawatir? “Kalau nggak enak badan istirahat aja, nggak usah siaran! Nggak pa-pa kok.” Katanya simpatik. Diam-diam si gadis bergumam di hati, Siapa sih ni Bapak-bapak sok tahu? Tapi baik juga sih dia. Secara nggak langsung kan dia nyuruh gue pulang dan nggak usah ngejalanin tugas yang super duper berat ini. Tapi nggak deng! Biarin ajalah. Daripada si kembaran rese nggak mau nolongin gue buat jadian sama Audya. Yaps, rupanya yang berlindung di balik gamis dan jilbab itu bukanlah Jeyhan seperti perkiraan Bang Ero, melainkan kembarannya, Johan. “Bagaimana, Jey? Tetap mau siaran juga?” tanya Bang Ero lagi. Jeyhan jadi-jadian itu kembali mengangguk, lantas berlalu dari hadapan Bang Ero. Jeyhan palsu sudah tiba di dalam bilik siaran. Tanpa ba, bi atau bu lagi dia memulai tugasnya. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh! Berjumpa lagi dengan saya, jeyhan Nadia di sore hari yang berbahagia ini. Yaps, seperti bahagianya hati Jeyhan saat ini. Buat Lo lo semua yang mau request bisa langsung ke nomor yang biasa.” Johan mengawali acara dengan penuh percaya diri. Dia yakin suaranya sudah mirip Jeyhan. Yeah, bukankah dia sudah melakukannya sebaik mungkin? Padahal itu hanya perkiraannya. Kenyataannya, suara yang dihasilkan lebih mirip suara banci. Di ruangan lain, Bang Ero dan Bang Aldi bertukar pandang tak mengerti. Mereka sedang mendengarkan cuap-cuapan Jeyhan di radio. “Eh Bro, yakin itu suara Jeyhan? Sakit apa dia? Kok sampai berubah drastis begitu suaranya?” Bang Ero mengutarakan keheranannya. “Entah.” Bang Aldi menyahut tak acuh, seolah tidak ambil pusing, padahal rasa penasarannya tak kurang dari Bang Ero. “Oke, kembali lagi bareng Jeyhan di kesempatan sore hari ini. Dan langsung saja gue bacain request-an yang pertama. Datangnya dari Afifah di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.” Jeyhan palsu meneruskan siarannya. “Katanya, Request dong lagunya Girl’s Generation, judulnya green Light. Special bwt Mbak Jeyhan aja yg suaranya aneh sore ini. Habis telan biji kedondong ya? Wkwkwk.” Jeyhan jadi-jadian berdehem, berusaha melembutkan suaranya. “Ahh, itu mungkin perasaan Lo aja.” Lanjutnya. “Oke, langsung aja gue putarin requestan pertama kita. Jangan ke mana-mana ya, tetap bersama Radio Langgam Mutiara, Railah mimpimu setinggi langit!” Bang Ero terdiam, merenungkan semua keanehan yang terjadi pada diri Jeyhan. Suaranya yang berubah drastis. Kata ganti gue yang ia gunakan untuk diri sendiri, dan kata ganti lo untuk pendengar, padahal Jeyhan tidak pernah menggunakan keduanya saat siaran. Gadis itu selalu menyebut nama untuk menyebut diri sendiri, sedangkan untuk pendengar dia selalu menggunakan kata ganti Anda. Terakhir dan yang paling fatal dari semuanya adalah mengenai jargon. Masa sih Jeyhan bisa lupa dengan yang satu itu? Jelas jargonnya Meraih mimpi untuk masa depan, bukan Raihlah mimpimu setinggi langit. Apa yang sebenarnya terjadi dengan gadis itu? Bang Erro benar-benar tak habis pikir dibuatnya. Apakah gadis itu bukan Jeyhan? Akan tetapi wajahnya? Ia yakin seribu persen kalau itu memang Jeyhan. Namun, mengapa sewaktu ditanya jeyhan hanya menjawab dengan anggukan? Bang Ero hampir tak dapat menahan rasa penasarannya lagi. Didatanginya bilik siar untuk memastikan siapa gadis itu sebenarnya, dan di sana ditemukannya satu keanehan lagi. Gadis itu menyiar dengan tetap menggunakan masker. Ya, meskipun saat ini Corona masih merajalela, tetapi ia tahu Jeyhan selalu melepas maskernya saat berada di dalam bilik siar. Kendati rasa penasaran hampir membuat dada Bang Ero meledak, sebisa mungkin ia tetap berusaha menahan diri. Biar saja Jeyhan melanjutkan acara itu sampai selesai. Setelah jam siarnya berakhir, rasanya belum terlambat untuk mengungkap keanehan di diri sang penyiar baru itu. Dua jam yang serasa dua abad bagi Bang Ero akhirnya usai. Dengan rasa penasaran yang tak tertahankan lagi, ia pun menanyai sasarannya. “Lo benaran jeyhan?” Jeyhan jadi-jadian mengangguk mantap. “Kenapa hanya ngangguk-ngangguk? Gue mau dengar suara lo.” “Kenapa dengan suara gue?” suara baritone itu seketika membuat Bang Ero terlonjak. “Si … siapa lo? Lo bukan Jeyhan?” Johan mengangguk sambil mencopot masker beserta jilbab yang menutupi kepalanya. Seketika, tampaklah kumis tipis dan rambut pendek yang tercukur rapi. “Gue Johan, kembarannya Jeyhan.” Jelasnya, sembari memperlihatkan senyum melengkung yang ia buat demi mencairkan suasana. “Sorry, gue terpaksa ngelakuin ini. Gue dipaksa Jeyhan ngegantiin dia karena hari ini dia ada ujian mendadak.” “Kok lo mau-mau aja?” “Yah, gue lakuin ini bukan gak ada imbalannya.” Jawab Johan. “Gue lakuin ini karena gue naksir sahabatnya. Dia udah janji bakal bantuin ngelancarin PDKT gue sama sahabatnya itu kalau gue mau gantiin dia siaran.” Besoknya, Jeyhan dikasih siaran selama enam jam dalam sehari akibat kelakuannya kemarin. Dan seperti prediksi Jeyhan, Bang Aldi ternyata marah luar biasa. Sambil menikmati kopi, lelaki itu sibuk menggertak Jeyhan. Sayangnya yang digertak sibuk bermonolok dengan diri sendiri. Minum yang manis aja omongannya udah pedas, apalagi sambil makan yang pedas-pedas! Nggak kebayang deh omongannya pedas kayak apa. Belum lagi mukanya yang nggak berhenti mengerut. Gue penasaran, jangan-jangan Bang Aldi ini sembelit setiap kali buang air besar. Makanya tu muka kusut-kusut. Gue setrika baru tahu rasa. The end Cerpen Karangan: Miftah Hilmy Afifah

Komentar

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung ke situs kami.
Comment dan masukan anda
sangat berguna untuk kemajuan situs kami.
Salam langgammutiara media.

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Kesabaran Ada Hikmah Yang Terpendam.

10 Bahasa Daerah di Indonesia yang Paling Banyak Penuturnya.

MENJADI PINTAR GA HARUS MAHAL GENG.