Di Balik Kesabaran Ada Hikmah Yang Terpendam.
Di
Balik Kesabaran Ada Hikmah Yang Terpendam
Karya: AKBAR AP
Di sebuah pesantren, di sanalah aku
tinggal dan belajar bersama-sama teman santri yang dengan sebisanya mengajari aku,
saat aku kurang mengerti dengan apa yang aku pelajari. Semenjak kedua orang
tuaku meninggal karena kecelakaan pesawat di laut Bermuda, aku di sekolahkan di
Pesantren Khairul-Insan. Di sini aku mendapat banyak ilmu, baik itu ilmu Agama
Islam atau ilmu pengetahuan saat ini yang telah di sahkan pemerintahan RI.
Perkenalkan,
namaku Iskandar Fatah Abdullah. Setiap orang yang mengenali aku, pasti mereka
memanggilku Fatah.
Pagi hari itu, kami berkumpul di aula
untuk melaksanakan Wisuda kelulusan. Pak Uztadh Amiruddin Hakim akan menunjuk,
siapa saja yang lulus dan siapa saja yang tidak lulus dari Madrasah
Khairul-Insan ini.
Aku merasa berdebar-debar, berharap
kepada Allah agar mendapat kelulusan yang membahagiakan semua orang. "Tah,
mudah-mudahan kamu lulus ya? Soalnya masyarakat mengharapkan orang-orang
berintelektualitas dari Khairul-Insan ini." Kata Uztadh Adi Munawar, guru
sekamarku. Di madrasah ini memang di sediakan beberapa asrama bagi yang asalnya
jauh. Khairul-Insan ini memang terletak di daerah Kediri, Jawatimur. Sedangkan
aku berasal dari Bandung, Jawabarat. "Baik, Insya Allah, tadh!"
Aku,
Uztadh Adi Munawar, dan teman-teman lain sekamar segera berjalan menuju aula.
Dengan mengucap doa dalam hati, aku berjalan dengan percaya diri.
Baca
juga, 4 KATA -KATA BIJAK INI BISA MENJADI CEMETI KITA UNTUK MERAIH MIMPI
Sesampainya di aula madrasah, kami
mencari tempat duduk. Acara pelepasan akan dimulai.
Setelah
berkumpul semua santri kelas akhir, acara segera dimulai. Acara demi acara
telah kami lalui. Akhirnya kami sampai pada acara wisuda kelulusan. Pada acara
inilah, jantungku seolah-olah akan copot.
Nama-nama
santri yang lulus telah disebut. Tinggal akulah yang belum disebut. Harap-harap
cemas aku menanti.
"Pada
kali ini, kami mengucapkan selamat untuk Ananda Iskandar Fatah Abdullah, karena
dia telah berhasil merebut … Hmm.. Merebut apa yah?? Pengen tahu, wahai hadirin
yang terhormat?" kata Uztadh Amiruddin, bertanya pada hadirin.
"Uztadh, paling si Fatah mau merebut
tempenya Uztadh Makhmud." jawab seorang santri yang dinyatakan lulus
dengan logat ngapak asli. Ia bernama Ginanjar. Semua orang tertawa
terbahak-bahak saat mendengar perkataan Ginanjar.
Aku
malah merasa kesal terhadap si Nanjar itu, sebab bukannya memberi kesabaran
padaku, eh, dia malah mengejekku. "Wooo, kwe nek guyon ra ndelok-ndelok
sikon!" teriakku keras, dengan bahasa jawa.
Semua
hadirin yang mendengar perkataanku, malah tertawa terpingkal-pingkal. "Wahai
anak sunda, begitu lucu urang saat ngomong basa jawa!" kata Ja'far, teman
sekelasku, lantang.
"Sudah!
Sudah bercandanya! Mari saatnya kita serius." kata Uztadh Amir, melerai.
"Setelah menimbang-nimbang dan melihat nilai Ananda Fatah, akhirnya kami
nyatakan bahwa Ananda Fatah mendapat Predikat pertama dalam acara wisuda
kelulusan ini. Bapak harap, nak Fatah untuk maju!" ucapan Uztadh Amir
mendapat sambutan yang luar biasa dari para hadirin.
Aku
mengucapkan takhmid dalam hati. "Ya Allah, terima kasih. Hamba bersyukur
padamu!" ucapku, lirih. Aku kemudian melangkah mantap ke atas panggung.
Uztadh Amir lalu mengalungkan medali emas di leherku.
Aku
kemudian berjalan menuju ke tempat dudukku barusan. Uztadh Adi menyambutku
dengan jabat tangan. Ia mengucapkan selamat dan nasihat padaku. "Selamat,
ya Tah? Mudah-mudahan kamu jadi orang yang berguna di lingkunganmu sana! Jangan
lupa, kamu harus punya ilmu padi. Makin banyak isinya, makin menunduk padinya.
Artinya kamu harus rendah hati." Kata Uztadh Adi dengan suara tenang.
"Baik, Tadh. Insya Allah, akan saya lakukan hal tersebut." jawabku,
sopan.
Keesokkan harinya, aku segera
berkemas-kemas untuk kepulanganku ke Bandung. Aku di antar Uztadh Amir dan
Uztadh Adi beserta teman-temanku sampai ke terminal bus. 10 menit kemudian, bus
jurusan Bandung telah datang, aku segera menjabat tangan kedua guruku dan
teman-temanku.
"Pak
Uztadh berdua, para sahabatku sekalian, maafkan aku karena selama ini aku
mungkin, telah berbuat salah kepada kalian, mungkin, ini bukanlah perpisahan
untuk yang terakhir. Moga-moga kita bisa berjumpa di lain waktu dan
tempat." ucapku, panjang lebar dengan suara terharu. "Ya, nak Fatah,
kami maafkan semua kesalahanmu selama ini. Nak Fatah, segeralah berangkat,
sebelum bus jurusan Bandung berangkat!" kata Uztadh Amir, dengan suara
tegas.
"Baik,
Tad! Assalamu'alaikum warakhmatullahi wabarakatu!" aku mengucap salam,
kemudian aku bergegas menaiki bus Kediri-Bandung. "Wa'alaikumussalam
warakhmatullahi wabarakatu." jawab kedua uztad dan sahabat-sahabatku, serempak.
Akhirnya bus yang aku naiki melaju pergi.
Saat diperjalanan, aku duduk sendirian
di dalam bus. Saat sampai di Kota Yogyakarta, tiba-tiba seorang gadis bule
cantik duduk di sampingku. Apalagi ia mengenakan pakaian yang tipis.
"Syaithan!
Astaghfirullah. Astaghfirullah." aku mengucap Istighfar dalam hati. Aku
memalingkan kepala ke arah luar jendela. Ternyata gadis itu memakai pakaian
tipis berwarna hitam, ia berrambut pirang, bermata biru bening. Ia menyangklong
tas di punggungnya.
LIHAT
JUGA JADWAL PROGGRAM LANGGAMMUTIARA RADIO DI SINI:
"Hey,
friend! What is your name?" tanya gadis bule itu, dengan suara lembut. Aku
merasa geram, terhadap gadis bule cantik itu, namun aku tetap menjawab
pertanyaannya.
"Hey
to! My name is Fatah. And you?" tanyaku, tetap tenang, tidak menunjukan
kemarahan.
"Oh, oh, my name is Racel Diana.
Where are you going, Fatah?" gadis bule yang ternyata bernama Racel itu
kembali bertanya kepadaku.
"I
will going to the Bandung city. And you, Racel?" tanyaku, agak malas.
"same with you."
Aduh, bisa berape nih!
Sontoloyo! Kok pada karo aku? secara tiba-tiba, aku mengumpat dalam bahasa
Betawi dan Jawa dengan tidak sengaja. "It is means?" "Oh, no, i
don't, Racel. I was speaking Batavia and Java Language. I am sorry."
kataku tergagap.
Sejenak,
kami terdiam. Kami asyik dengan fikiran masing-masing. Aku membuka tas hitamku,
kemudian aku mengambil sebuah buku dengan judul Sejarah Kerajaan Mataram Islam karangan Dr. Uztadh Amiruddin Hakim,
M. A.
Ya,
gurukulah yang mengarang buku ini. Buku ini adalah rangkuman dari beberapa
sumber terpercaya. Sejak tadi, Racel memperhatikan apa yang aku perbuat.
"What is name this book?" tanya Racel, penasaran. Rupanya gadis bule
berkulit putih itu merasa penasaran juga, dengan buku yang akan aku baca.
"This
book is Mataram History." jawabku, tenang. Aku membaca buku ini menghadap
jendela bus. Setelah sampai pada halaman yang mengisahkan kegagahan Raden Mas
Jolang atau Sultan Panembahan Hanyokrowati di medan perang melawan Belanda, aku
terdiam sejenak untuk merenungi, betapa asyiknya mempelajari sejarah. Apalagi
belajar sejarah tanah air sendiri.
Tiba-tiba,
terdengar Adzan Dhuhur dari suara alarm hp ku. Aku ambil ponselku itu dan aku
segera melihat jam. Ponselku ini memang dikasih Uztadh Adhi sebelum aku pulang
tadi pagi.
"Fatah,
jagalah kenang-kenangan ponsel pemberian Uztadh ini, siapa tahu kamu
membutuhkannya." pesan Uztadh Adhi, akupun mencamkan pesan tersebut.
Nada
alarm Adzan telah berhenti. Racel pun bertanya kembali. "Apakah agamamu
Islam?" tanyanya menggunakan bahasa Indonesia dengan aksen inggris yang
kental.
Aku hanya mengiakan.
Tiba di terminal Bandung, aku langsung
keluar dari bus. Inilah kota kelahiranku. Masih seperti dulu, banyak orang
hilir mudik di trotoar jalanan, dan berbagai tempat umum lainnya.
Namun,
nasib seseorang pastilah berbeda-beda. Ada yang beruntung, dan ada juga yang
kurang beruntung bahkan gagal. Hatiku prihatin, saat melihat remaja-remaja
seusia denganku di pinggir jalan sedang melakukan hal-hal yang dilarang dalam
agama.
Semisal
berpakaian. Mereka tak segan-segan untuk memakai pakaian berlengan pendek dan
memamerkannya kepada halayak ramai. "Kapan semua budaya barat ini dapat
terkikis?" batinku, gundah.
Aku tercenung di aspal trotoar,
memandangi orang-orang yang berlalu-lalang. Selang beberapa waktu akupun
bersandar di bawah pohon yang rimbun. Napas kuhela perlahan dan kuembuskan
panjang-panjang.
"Halo,
sobat? Kenapa kau hanya terdiam? Tak ikut berlalu-lalang?" bertanya
seorang pemuda berseragam SMA. "Aku malas ikut-ikutan. Nanti sajalah. Aku
masih ingin beristirahat. Siapa namamu?" "Namaku?" tanya pemuda
itu dengan pura-pura bloon.
Aku malas melayani orang yang selalu berpura-pura
dalam berinteraksi sosial dengan orang lain. Seperti halnya anak SMA ini.
"Maaf! Aku tak dapat bercakap-cakap lebih lama denganmu. Sekali lagi
maaf." ucapku, santun.
Aku tak menghiraukan orang itu lagi. Aku
segera berjalan pergi, meninggalkan tempat itu.
Di
sisi lain kota Bandung, tinggallah keluarga Pak Ridwan Thalib. Pak Ridwan ini
beristrikan seorang wanita cantik, secantik hatinya. Ia adalah Bu Wulan Afifah.
Pak Ridwan putra pertama dari Pak Ahmad Iskandar Thalib
Pagi
itu keluarga Pak Ridwan sedang bersantai di beranda rumah. Kedua anak Pak
Ridwan, Rendra dan Rizki sedang bermain catur. Mereka memang kembar. Kedua anak
lelaki itu telah bersekolah di SD IT Ar-Ra'urRakhmatullah.
Minggu yang cerah, Rendra mengajak
adiknya bermain catur.
"Horeee, Kak Rendra kalah! Rizki menang,
Abi, Umi." seru Rizki, sangat gembira. Ia tertawa riang. Ia berlari-lari
menghampiri orangtuanya yang saat itu berada di beranda.
Pak
Ridwan tersenyum lembut penuh kasih terhadap anaknya itu. Ia amatlah bersyukur
pada Allah. Karena-Nyalah, ia dapat menjalani hidup yang tak surut dari masalah
ini.
"Rizki,
kamu jangan berbuat sombong seperti itu! Bukannya abi melarangmu untuk
bergembira, tapi kamu harus dapat mengendalikan perasaan gembira agar kamu
tidak terhanyut di dalamnya. Allah melarang kita untuk berlebih-lebihan dalam
segala hal." kata lelaki 32 tahun itu. Sejenak, Rizki merenungi perkataan
abinya. Dengan wajah serius, ia berusaha memahami nasihat sang abi.
Sejak
tadi, Bu Afifah hanya diam, mendengarkan perkataan suaminya. Ibu rumah tangga
itu tak sedikitpun membantah perkataan suaminya, sebab apa-apa yang diucapkan
Pak Ridwan sepaham dengannya. Bu Afifah yang hari itu mengenakan pakaian Biru,
mengalihkan pandangan kepada Rendra yang dari tadi diam saja. Anak lelaki
berumur 10 tahun itu termenung sendirian.
"Nak Rendra! Kemarilah! Umi ingin
bercakap-cakap denganmu."
Mendengar seruan uminya, Rendra bergegas
menghampiri.
"Ada apa, umi?" tanya Rendra
dikala ia telah duduk di samping Bu Afifah.
"Rendra, apakah kamu malu
dikalahkan adikmu?"
"Tidak,
saya malah bangga punya adik kembar yang cerdas." ucap Rendra, mantap.
Bu Afifah, Pak Ridwan dan Rizki lega
karena perkataan Rendra. Mereka pun kembali ke dalam rumah.
Aku terus melangkahkan
kaki untuk mencari rumah warisan orang tuaku. Aku beristirahat pada waktu
shalat saja.
Tanpa kusadari, hari telah malam.
Gemintang menampakan sinarnya. Desir angin malam membelai wajahku yang lelah.
Di sebuah rumah, aku kembali berhenti
untuk ke sekian kalinya. Kuamati struktur bangunan rumah itu. Nah, ini pasti rumah peninggalan abi!
batinku, gembira.
Aku berdiri persis di depan pintu. "Tok!..
Tok!.. Tok!.. Sampurasun!" aku mengucap salam khas Sunda dengan suara
sopan. Beberapa menit kemudian, terdengar jawaban dari dalam rumah.
"Rampes. Tunggu sebentar!"
Pintu rumah itu
akhirnya terbuka juga. Muncul dari dalam seorang laki-laki berusia 32 tahun.
"Kamu siapa? Mari masuk!" ajak Pak
Ridwan ramah kepadaku.
Setelah
dipersilahkan duduk, dan sang tuan rumah juga telah duduk, aku segera duduk di
atas sofa. "Adik siapa?" Pak Ridwan mengulangi pertanyaannya tadi.
"Nama saya Iskandar Fatah Abdullah. Benarkah rumah ini milik Almarhum
Akhmad Iskandar Thalib?" tanyaku, sopan.
"Ya, tepat sekali. Dan saya, Ridwan
Thalib adalah putra pertama Beliau. Ada apa ya, dik?" tanya Pak Ridwan,
keheranan.
"Sejak kecil saya di tinggal oleh abi dan
umi. Saya kemudian dikirim ke Madrasah Iktida'iyah Tsanawiah Aliah
Khairul-Insan Kediri oleh tetangga abi saya yang bernama kalau tidak salah Pak
Ashrul-Munawar. Dan saya punya 2 kakak yaitu Firman Thalib dan Ridwan Thalib.
Abi saya Akhmad Iskandar Thalib. Umi bernama Santi Khairah." Jelasku.
Pak Ridwan tersentak. "Jadi! Kau
itu yang menghilang selama 15 tahun?" ucap lelaki itu memastikan
dugaannya. Aku hanya dapat mengangguk.
"Saat itu saya tak tahu, bahwa Pak
Ashrul berniat jahat. Saat kami ke Kediri, saya tidak dapat membebaskan diri.
Untung, saat Pak Ashrul akan melempar saya ke sungai, saya segera di tolong
Uztadh Amir, ketua Khairul-Insan.
Sayapu di jadikan anak santri
beliau." ucapku terbata-bata.
Hatiku
merasa terharu. Pak Ridwan yang ternyata kakak sulungku.
Mataku terasa panas. Aku menangis juga.
Dalam hati ku ucapkan Kalimat Takhmid berkali-kali. Dan kami saling
berangkulan, melepas rindu di ruang tamu.
"Oh, dik Fatah, Firman, Abi dan umi telah
wafat. Pesawat yang mereka tumpangi, jatuh di Segitiga Bermuda.
Pagi menjelang. Mentari
menampakkan wajahnya di ufuq timur. Begitu cerah dan menawan hati tanpa
ketiadaan mega-mega di angkasa. Langit berwarna biru indah.
Kesibukan Kota Bandung mulai terlihat. Mas
Ridwan bersiap-siap untuk bekerja. Aku ingin mencari pekerjaan dengan
mengandalkan Ijazahku.
Akhirnya aku diterima di perusahaan
kakak bekerja. Sebagai karyawan Perusahaan CRM(Computer Religion Islamic). Aku
bersyukur kepada Allah. Selama ini aku bersabar untuk mencari hikmah di balik
musibah yang menimpa keluargaku. Sehingga pada akhirnya, Allah mempertemukanku
dengan kakakku, Mas Ridwan Thalib.
Yogyakarta, 09-Maret-2016.
Editor: Pitaloka
INFO PENTING:
Sahabat pembaca juga punya karya-karya tulis seperti:
CERPEN, CERBUNG, CERMIN, PUISI, DLL, yang ingin ditampilkan di(langgammutiara.com?)
Silahkan kirimkan karya-karya sahabat ke redaksi langgammutiara fia: whatsapp, atau email resmi redaksi langgammutiara di: redaksilanggammutiara@gmail.com
Kirimkan karya sahabat dalam bentuk format:
Txt, docx, doc, rtf, dan pdf.
Bagus bagus..
BalasHapusWah, ada namaku sebagai salah satu tokohnya. Hehehe
BalasHapus..
Mak2 punya 2 anak
HapusYoi, thx buat yang udah berkunjung.
BalasHapusdan tetap nantikan post-post menarik lainnya.