Cerpen: Sebatas Teman

Tak dapat kuingkari bahwa mala mini aku tengah merindukannya. Akan tetapi, rindu ini tidak dapat kusampaikan kepada siapa pun, termasuk juga yang bersangkutan. Sebab, apabila itu terjadi, sanksi yang pasti kuterima adalah malu sendiri serta merasa bersalah. Bahkan, teman-temanku secara spontan akan berkata Ciee! Ciee! Seolah menggodaku yang kata mereka sedang kasmaran. Kasmaran! Benarkah?
     NamanyaRafa, laki-laki yang umurnya berkisar lima tahun lebih tua dariku. Laki-laki yang membuatku nyaman ketika bicara. Laki-laki yang mampu membuatku menyunggingkan senyum saat mengingatnya. Laki-laki yang bisa membuatku ikut larut dalam kegelisahannya. Laki-laki yang dapat menjadikan pola hidupku lebih baik. Ya, laki-laki inilah yang selalu membuatku merindu saat tak mendengar kabarnya! Ohh, inikah kasmaran? 
     Tiga tahun sudah aku mengenalnya. Namun, rasa-rasanya baru tiga hari yanglalu kami berkenalan. Bermula darikedatangannya  di postinganku, berkomentar dengan gaya yang seolah mencuri-curi perhatian.
 “Akua! Akua! Siapa mau beli akua? Ada yang gelas, gallon, botol, yang sasetan juga ada. Silakan dipilih-pilih! Beli dua gratis satu.” begitu katanya. Padahal, statusku sama sekali tidak sedang mencari air minum.
Semula aku mengira ia orang sinting dari Antartika yang tersesat di Facebookku, dan aku pun tak ingin meladeninya. Toh di mana-mana orang akan berpikir sama, jika kita melayani orang sinting, maka kita pun akan ikut-ikutan sinting. 
     Tiga tahun berlalu dengan sejuta cerita. Ya, namanya juga persahabatan! Ada suka-dukanya, senang-sedihnya, cinta dan bencinya, rindu, cemburu … Hah, cemburu? Adakah kata cemburu dalam kamus besar Persahabatan? Kujawab ada. Cemburu saat dia lebih memerhatikan orang lain ketimbang sahabatnya, cemburu kalau ia tak menghiraukan kita ketika dia sedang bersama yang lain. Tentunya, ini tidak berlaku pada persahabatan antarsesama jenis, melainkan lawan jenis, dan ini di luar kata berpacaran. Memangnya pacar saja yang bisa cemburu-cemburuan?
     Malam ini aku tak dapat tidur. Aku termenung sendiri, menunggu gawaiku yang kuharap sewaktu-waktu akan berdering dan nama Rafa terpampang di layarnya, lalu suaranya terdengar di seberang sana. Akan tetapi, ternyata gawaiku sama sekali tidak berkutik. Ini bukan yang pertama kali kualami. Biasanya, rafa tak menelponku paling lama tiga bulan. Terlepas dari itu, dia kerap menelponku setiap malam, dan waktu yang kuberikan untuknya adalah tiga jam. Dari pukul 21 sampai pukul 00 lebih sekian menit atau sekian detik. Terkadang menjadi lebih lama jika malam itu kami belum mengantuk, atau ketika ada  topik pembahasan menarik, yang ujung-ujungnya akan menciptakan keriuhan di telinga kami. Entah berakhir dengan pertengkaran akibat salah paham maupun berbeda  pendapat, tetapi kadang juga berakhir ceria dan penuh canda tawa. Kami kerap membuat kekonyolan, saling ledek, asal menimpali yang akhirnya terdengar lucu.
     “Kenapa kamu jarang chat aku?” tanyaku pada Rafa via telpon beberapa minggu yang lalu.
“Ahh, ngapain chatingan? Ngabis-ngabisin kuota? Enakan telponan, gratis.” Jawab Rafa.
“Uuuhh … mentang-mentang kartunya banyak gratisannya!” sahutku sedikit kesal.
“Makanya, beli dong kartu kayak gini!” katanya bak bintang iklan kartu di TV.
“Nggak mau!: jawabku tak mau kalah. :Aku udah terlanjur sayang sama kartu ini. Bayangin sejak SMP kartu ini bersamaku, udah 5 tahunan lho!”
“Kalau sama aku, sayang nggak?” canda Rafa.
“Nggak!: aku menyahut ketus, meski sebetulnya bibirku mengukir senyum.
“Ya udah kalau nggak sayang, nggak nelpon lagi.” Rajuknya.
“Ahh, jangan begitu!” aku merengek manja.
“Sayang dulu dong!” rayunya.
“Iya deh, sayang. Tapi terpaksa, biar ditelpon setiap malam.”
     Ya, kesalahanku mungkin di situ. Aku selalu melayani setiap ledekannya, menerima setiap telponnya, menjadi sahabat yang selalu ada untuknya. Namun itulah, aku perempuan, sedangkan dia laki-laki. Siapa,  pun yang mendengar kami telponan, pasti mengira kami pacaran. Padahal sebenarnya tidak. Kalaupun Rafa pernah mengatakan sayang padaku, itu sebatas teman, atau juga sayang seorang kakak terhadap adik. Aku sering bersama Rafa, bukan berarti aku menaruh hati kepadanya. Teman laki-lakiku banyak, tetapi rata-rata mempunyai pacar. Otomatis, mereka akan lebih sering bersama pacarnya ketimbang aku. Kalau telponan denganku, harus minta izin pacarnya dulu, harus digabungkan sama pacarnya dulu, dan aku juga harus jaga-jaga jarak demi tak membuat curiga di hati pacar mereka. Berbeda dengan Rafa. Dia sudah putus dengan pacarnya, dan berjanji tidak akan mengenal pacaran lagi sebelum menikah. Yeah, sejak tiga tahun aku bersamanya, tak pernah kudengar ia pacaran lagi. Sudah taubat katanya. Malah teman-teman dengan tanpa rasa bersalah mengatakan akulah pacar Rafa sekarang. Pacar dari Hongkong! 
     Aku tersenyum mengenangkan perkenalan kami.
 “hai juga!” aku membalas chat nomor tak dikenal di whatsapp. “Siapa ini?”
“Namaku Rafa, dari Depok. Aku dapat nomor kamu dari grup.” Balasnya.
“Umurmu berapa?” tanyaku.
“Memangnya harus mengenal umur ya?” ia balik bertanya.
“Iya, biar aku tahu harus manggil kamu kakak atau nggak.”
“Panggil aku Rafa aja, nggak usah pakai kakak! Umurku nggak jauh beda kok sama kamu.”
Meskipun kini aku tahu bahwa umurnya lebih tua lima tahun dariku, tetap saja aku tak memanggilnya dengan embel-embel kakak, mas, abang, atau apapun itu. Ya, lantaran terbiasa dengan sapaan Rafa, rasanya sedikit canggung jika harus menambahinya dengan sebutan semacam tadi lagi.
     Terhitung dua minggu sudah Rafa tak menelponku. Ahh, sepi rasanya! Biasanya, setiap malam aku belajar Bahasa Inggris dengannya. Selalu bertanya tentang politik, kadang juga soal agama. Sebab, selain katanya dia seorang sarjanah Hukum, dia juga suka ikut pengajian keislaman. Hal itu kulakukan agar obrolan kami semakin seru dan lama, sekaligus menguji kebenaran statusnya tersebut. Ya, aku harus jeli jika mendapat kenalan baru di media sosial. Tidak bisa dimungkiri, banyak orang suka memalsukan identitas. Ada yang mengaku kuliah di sini, kuliah di situ, sarjanah ini, sarjanah itu, giliran ditanya ini itu malah bingung. Eh, belakangan baru ketahuan kalau ternyata sebenarnya tidak lulus TK. Hahaha …!
     Kuraih gawaiku yang sedari tadi kuletakkan di atas meja laptop, berharap seketika gawai itu akan berdering saat berada di tangan. Yeah, Alhamdulillah, harapanku menjadi nyata! Tanpa berpikir panjang lagi jemariku menekan tombol terima panggilan, sembari mempersiapkan suara paling ceria yang kupunya.
 “Halo!” aku menyapa kegirangan.
“Assalamualaikum!” suara di seberang sana seketika membuatku lesu.
“walaikumsalaam.” Jawabku.
“Apa kabar?”
“Alhamdulillah baik. Kamu sendiri?”
“Baik. Sibuk nggak nih?”
“Nggak sih, tapib aku udah ngantuk. Aku mau tidur.” Aku melemaskan suara agar terdengar bak orang yang benar-benar mengantuk. “Besok aja telponnya ya! Lagipula, baterai hpku tinggal sedikit.”
“Oh … ya udah! Selamat bobo ya.” Panggilan pun diakhiri.
     Sial! Aku merutuk dalam hati. Kupikir Rafa yang telepon, ternyata Ari. Hmmm … salahku sendiri tidak terlebih dulu memastikan nama si pemanggil.
Sebenarnya aku belum mengantuk. Baterai gawaiku juga masih Sembilan puluh lima persen. Aku hanya membuat alas an. Kalau aku tahu bukan Rafa yang menelepon, pasti takkan kuangkat. Aku malas menerima telepon dari siapapun, kecuali rafa. Ya hanya rafa.
     Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua puluh tiga lebih lima puluh delapan menit, tetapi belum ada tanda-tanda Rafa akan menelepon. Terakhir kali kami teleponan, dia berpesan bahwa aku harus menjaga kesehatan. Jangan keseringan begadang, dan aku harus focus dengan kuliah yang sedang kujalani. Dia bilang, ini demi kebaikanku. Namun, yang aku rasa justru ini tidak baik. Sebab, bagiku teleponan dengan Rafa setiap malam, membuatku mendapat tambahan ilmu gratis. Darinya aku belajar banyak hal. Berani menyatakan pendapat,  kepada orang lain, belajar menghargai pendapat orang lain, bahkan mengetahui cara makan dan minum yang baik, tidur yang baik, tentunya yang sesuai dengan tuntunan agama.
Oh … Rafa! Aku tahu hubungan kita sebatas teman. Namun, salahkah aku apabila selalu menantikan teleponmu setiap malam? Adakah di sana kaumengingatku, sebagaimana aku yang selalu mengingatmu? Rindukah kau kepadaku, sebagaimana aku merindukanmu? Pernahkah kaumemikirkan aku, seperti aku memikirkanmu? Andai jarak tak membentang di antara kita, mungkin tak butuh waktu lama untuk menghalau rinduku.  Ohh  … andaikan kau tak jauh, Rafa! 

Cerpen Karangan: Miftah Hilmy Afifah. 


Komentar

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung ke situs kami.
Comment dan masukan anda
sangat berguna untuk kemajuan situs kami.
Salam langgammutiara media.

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Kesabaran Ada Hikmah Yang Terpendam.

10 Bahasa Daerah di Indonesia yang Paling Banyak Penuturnya.

MENJADI PINTAR GA HARUS MAHAL GENG.